Tradisi Bersih Kali, Menjaga Ekosistem Tetap Lestari

kimpena.kabpacitan.id-Tradisi bersih kali masih terjaga dengan baik di pelosok padusunan di desa Ngumbul. Masyarakat desa meyakini Bersih Kali bukan sekedar tradisi, namun Bersih Kali merupakan sumbangsih masyarakat untuk menjaga agar ekosistem tetap lestari.
Biasannya, Bersih Kali ini dijalani dengan acara pokok berupa pembersihan lokasi mata air atau Belik yang menjadi sumber penghidupan masyarakatnya. Biasanya usai kegiatan bersih-bersih kemudian diisi dengan kenduri dengan sajian nasi gurih dan ingkung ayam kampung.
Tradisi bersih kali biasa diselenggarakan ketika memasuki Sasi Rejeb atau Ruwah, sebelum memasuki Sasi Pasa. Pada waktu itu, masyarakat umumnya telah menyelesaikan panenan musim tanam kedua untuk pertanian lahan kering atau tadah hujan. Tak hanya membersihkan lokasi mata air, biasanya usai mengikuti rangkaian pokok masyarakat secara bersama-sama melanjutkan kerja bakti bersih-bersih lingkungan dan kampung.
Ada pesan positif yang bisa kita tangkap dari tradisi Bersih Kali ini, bukan sekedar moment ritualnnya, tapi paling tidak tradisi ini memberiakan pembelajaran bagaimana menjaga lingkungan tetap lestari, menjaga ekosistem alam agar tetap terjaga.
Indikator-indikator yang kasat mata tersebut juga selalu dirindukan warga untuk dapat berlangsung di tahun berikutnya. Semoga ini menjadi bukti, masih ada greget atau semangat masyarakat perdesaan untuk ber-revolusi ataupun ber-evolusi dalam membangun dan meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin.
Mengurai Sejarah
Dalam catatan historiografi, tradisi bersih kali atau bersih dusun sesungguhnya memiliki akar sejarah yang panjang. Tradisi bersih kali ditemui pada jaman klasik peradaban Hindu-Budha di Jawa, dan bahkan bertautan dengan tradisi yang oleh agama-agama baru dikenal sebagai tradisi kuno animisme dan dinamisme. Tradisi bersih kali pada jaman klasik memberikan pelajaran, bahwa kehidupan masyarakat perdesaan agraris senantiasa memuliakan 5 unsur pokok alam yang dikenal sebagai pancabhuta, yaitu: lemah (tanah/bumi), banyu (air, tirtha), bayu (angin), agni (api), dan akasa (ether, gas ruang angkasa). Manusia tidak dapat hidup apabila tidak ditopang kelima unsur dasar tersebut. Dua unsur pokok, yaitu tanah dan air selanjutnya kita kupas di bawah ini.
Tanah atau bumi yang mampu menerima apapun, meluruhkan apapun, dan mampu menumbuhkan tanaman apapun. Dari yang ditumbuhkan bumi manusia mendapatkan sumber pangan utama. Sumber pangan utama masyarakat Jawa (Nusantara dan bahkan Asia) adalah dalam bentuk padi, yang kemudian bertransformasi menjadi beras dan nasi. Nasi atau sega gurih dalam kenduri bersih kali adalah penopang utama kehidupan ragawi, tentunya yang menyehatkan pula jiwanya, serta kehidupan rohaniahnya. Bicara tentang nasi, beras, dan padi dalam tradisi simbolis Jawa merujuk kepada Sang Dewi Sri. Dewi dari kahyangan yang menjaga kesuburan bumi, mewujud dalam bulir-bulir padi. Masyarakat Jawa menyebut bumi sebagai ibunya, sebagai ibu pertiwi, tempat di mana manusia lahir dan badaniahnya akan bersatu melebur dengan ibu pertiwi setelah mati, dan rohnya kembali mengangkasa ke Gusti Kang Murbeng Jagad. Tanah tak dapat dilepaskan dari pijakan hidup manusia.
Air sesungguhnya zat yang tak terpisahkan dari bumi. Tak dapat dibayangkan keberlangsungan makhluk hidup tanpa adanya air. Oleh karena itu, air menjadi zat yang paling utama dalam kehidupan. Tradisi bersih kali sesungguhnya juga menjadi pengingat terus-menerus bagi warga perdesaan, bahwa hidup dan kehidupannya tak dapat terlepas dari air yang membasahi bumi. Air yang melegakan tenggorokan manusia saat kehausan, sehingga hidup manusia dapat berpikir dengan waras, berlaku selaras-serasi dengan sesama makhluk hidup dan lingkungannya. Bukan hidup yang brangasan seolah tak mengenal naluri kemanusiaan.
Hal yang menarik dalam prosesi bersih kali situs-situs patirthan peninggalan tradisi klasik Hindu-Budha adalah adanya keyakinan bahwa tradisi bersih kali sesungguhnya juga menjadi ritual pembersihan diri. Ketika masyarakat beramai-ramai membersihkan sumber air termasuk kolam situs percandiannya, kemudian diakhiri dengan bersama-sama membersihkan diri, membasuh diri dengan sumber air yang telah dibersihkan kolamnya dan alur alirannya itu. Di beberapa candi patirthan di Jawa Timur, tradisi membersihkan diri dapat dilakukan dengan merebahkan diri ke kolam, atau membersihkan diri dengan berjongkok, menunduk atau berdiri menerima kucuran air dari saluran air (jaladwara) yang airnya memancur melalui pancuran berbentuk makara atau padma. Tradisi bersih kali ala Majapahitan ini sampai kini masih dapat ditelisik di situs patirthan candi-candi peninggalan Majapahit di belahan Jawa sisi timur, mulai dari percandian di Lereng Lawu ke arah timur sampai Malang dan sekitarnya.
Membasuh diri dalam tradisi klasik menjadi simbol pembersihan diri dari dosa, pikiran dan perbuatan jahat, untuk kemudian masyarakat perdesaan memulai dengan melakoni kehidupan baru mencapai kesempurnaan. Di beberapa situs patirthan, air yang memancur menjadi simbol air susu ibu yang suci. Air susu yang mampu meluruhkan racun yang mengotori tubuh, agar kehidupan selanjutnya menjadi suci, bersih kembali dari noda dan dosa, mampu mencapai kesempurnaan moksa kembali ke swargaloka.
Ritual bersih kali secara ekologis menyiratkan pesan kuna, bahwa masyarakat sesungguhnya sudah memiliki kesadaran dan keswadayaan sejak awal mula kemunculan satuan masyarakat dalam perdusunan atau perdesaan. Bahwa mereka harus menjadi tameng pertahanan keberlangsungan sumber daya air yang menjadi sumber kehidupan pertaniannya. Sumber-sumber air permukaan tanah yang umumnya terletak di elevasi terbawah dari area perbukitan di kanan kirinya harus dikeramatkan. Dikeramatkan adalah kata lain dari di-sengker-ke atau sinengker, dianggap sebagai tempat khusus, tidak boleh diperlakukan secara sembarangan. Pohon dan segala macam yang ada di kanan kirinya tidak boleh sembarangan diambil, ditebang atau dibabat habis. Segala yang keramat baik bukit kapur maupun pepohonan itu terbukti mampu menyimpan tandon air, sebagai penyokong hidup masyarakat yang mendiami lingkungan sekitarnya.
Pesan ekologis kuna ini sesungguhnya seiring-sejalan dengan nalar ilmu modern, bagaimana mengusahakan ekonomi produksi sekaligus menjaga konservasi alam. Mengusahakan sumber daya alam dengan segala daya dan upaya tak kenal lelah untuk keberkahan hidup itu sebuah kemestian. Tetapi membabat vegetasi tanpa aturan, membongkar gunung tanpa aturan akan berefek jangka panjangnya matinya sumber daya air, dan pada akhirnya mematikan kehidupan manusia itu sendiri. Ini juga menyiratkan pesan, bahwa sektor kepariwisataan itu oke-oke saja dan baik-baik saja. Tetapi masyarakat agraris yang bertumpu pada sektor pertanian itu tidak boleh ditinggalkan begitu saja apalagi diabaikan, tanah pertanian dan pekarangan menjadi bero semua. Akan menjadi kisah pilu manakala kita menjamu tamu para wisatawan, namun ternyata kita defisit atau kehabisan produksi beras, jagung, kacang tanah, sayur-sayuran, dan uba-rampe-nya. (admin)