“Jangkrik Genggong”, Upacara Adat Tanda Anak Beranjak Dewasa

kimpena.kabpacitaan.id- Jangkrik Genggong merupakan upacara adat di dusun Tawang desa Sidomulyo kecamatan Ngadirojo kabupaten Pacitan. Upacara adat ini dilaksanakan sekali dalam setahun, yaitu tiap hari Selasa Kliwon (Anggara Kasih) bulan Selo (Longkang/Dzulqo’dah). Penamaan Jangkrik Genggong diambil dari gendhing tayub klangenan (kesukaan) dari Wonocaki, salah satu sosok yang dipercaya warga setempat sebagai danyang punden (makhluk halus penunggu tempat yang dikeramatkan). Upacara adat ini juga sebagai pertanda perayaan untuk anak laki-laki yang telah beranjak dewasa. Usai dilaksanakan upacara adat ini, anak tersebut boleh turun ke laut untuk berlayar. Tradisi upacara adat Jangkrik Gengong ini berasal dari Desa Sidomulyo, Kecamatan Ngadirojo Pacitan Jawa Timur yang mayoritas besar penduduknya bekerja sebagai nelayan di pesisir pantai selatan.
Pelaksanaan upacara adat Jangkrik Genggong dilengkapi dengan sesaji yang berupa krawon kemadhuk, bothok iwak pajung (kakap merah), dan tlethong jaran putih (kotoran kuda putih). Sesaji yang ada nantinya akan dibawa untuk prosesi doa oleh sesepuh adat daerah setempat. Konon, iwak pajung akan melimpah di laut setempat sesaat sebelum acara Jangkrik Genggong dilaksanakan. Setelah prosesi acara, umumnya nelayan akan panen ikan dalam skala yang lebih besar dari biasanya. Sebagian masyarakat percaya bahwa seorang anak laki-laki yang siap untuk melaut kali pertama harus mengikuti acara Jangkrik Genggong terlebih dahulu.
Asal Mula Jangkrik Genggong
Jangkrik Genggong dilatarbelakangi oleh adanya beberapa pepunden di daerah Tawang, Sidomulyo. Setiap pepunden tersebut memiliki sosok penguasa (dalam bahasa Jawa disebut seng mbahurekso) masing-masing, misalnya Rogo Bahu menguasai Glandhang Plawangan, Gadhung Mlathi menguasai Sumur Gedhe, Mangku Negara menguasai Sumur Pinggir dan Wonocaki menguasai Teren. Masing-masing sosok penguasa tersebut akan merasa nyaman jika masyarakat setempat melaksanakan agenda tahunan bersih desa dan dilanjutkan dengan tayuban. Setiap sosok penguasa memiliki gendhing klangenan masing-masing sesuai dengan karakter dan selera sosok seng mbahurekso tersebut.

Prosesi Acara
Upacara adat Jangkrik Genggong secara utuh dimulai satu hari sebelum puncak acara, yaitu hari Senin Wage (Soma Cemeng). Pada hari Senin Wage tersebut, seluruh warga melakukan agenda bersih desa, terutama membersihkan pepunden yang ada. Pada malam harinya, diadakan acara tirakatan bersama seluruh warga dusun.
Acara dilanjutkan pada Selasa Kliwon pagi, di mana setiap warga akan membawa encek yang berisi tumpeng. Bagi warga yang memiliki sukerto (misalnya akan melakukan tradisi ruwatan atau memiliki ujar) akan membawa sesaji sesuai dengan aturan yang ada. Seluruh sesaji dan tumpeng dikumpulkan dalam suatu tempat dan selanjutnya sesepuh adat akan melakukan doa atas tumpeng dan sesaji yang terkumpul. Sesaji yang telah didoakan selanjutnya diantar ke masing-masing pepunden. Acara dilanjutkan dengan kembul bujana (makan bersama) oleh seluruh warga masyarakat.

Tayub dilaksanakan sebagai penutup acara, Sebelum agenda tayuban bagi warga masyarakat, dilakukan tayub sakral yang diperankan oleh lima orang lelaki asli dusun Tawang, Sidomulyo. Kelima lelaki ini merupakan pengejawantahan sosok penguasa pepunden yang ada. Secara berurutan, kelima lelaki yang memerankan Rogo Bahu, Gambir Anom, Sumur Wungu dan diakhiri Wonocaki melaksanakan tayub dengan gendhing klangenan masing-masing. Gendhing tersebut antara lain cakra negara, samirah, godril, ijo-ijo dan diakhiri dengan gendhing jangkrik genggong.
Jangkrik Genggong juga sebenarnya upacara bersih desa milik para nelayan dan dilaksanakan setiap bulan Selo (Jawa). Masyarakat menyebut upacara Jangkrik Genggong karena awal dari upacara itu ada tarian tayub dengan gendingnya Jangkrik Genggong. Prosesi upacara, duplikat ikan kakap merah raksasa dibawa ke balai desa lalu diteruskan ke pesanggrahan di pesisir pantai. Pembawa ikan itu adalah para perjaka dan wajib mengenakan pakaian adat Jawa. Sebagai pengiringnya adalah tarian Minoagung yang dilanjutkan tarian tayub. Kesemuanya itu dipersembahkan pada mahluk halus penguasa sumber air yang jumlahnya tujuh itu. Selain tarian, upacara harus disertai dengan gending-gending yang judulnya sama persis dengan nama-nama ketujuh penguasa sumber air itu. Misal, mahluk halus Mangkunegoro gendingnya harus surung dayung. Gending itu menggambarkan nelayan yang tengah mendayung sampannya di laut bebas. Sedangkan Kethok Jenggot gendingnya sambiran dan Rogo Bahu gendingnya berjudul ijo-ijo dan seterusnya. (admin)