HOAK…HOAK ….HOAK

Mentari baru saja bangun dari peraduannya. Titik-titik embun masih basah membalut dedaunan sisi taman beranda rumah. Secangkir kopi nampak masih mengepul menemani Mbah Kromo memanggut sirna pagi. Ada rasa gundah menggantung dalam benak pikirannya. Seperti menggulung dalam jaring-jaring, rekat dan susah untuk diurai.
“Nyi, mrene diluk,”, suara mbah Kromo memanggil Nyi Arum, sang Istri setianya.
Nyi Arum yang tengah menyiram bunga di taman depan rumah buru-buru menghampiri Mbah Kromo. “Nopo Kung? kok kadose radi penting (ada apa Mbah ? kok sepertinya agak penting)
“Anu, kok perasaan kahanan saiki soyo bubrah, soyo ora karuan, susah membenarkan yang benar dan sulit menyalahkan sesuatu yang jelas-jelas salah, yang ujung-ujungnya jadi pembenaran. Dalam prespektif apapun. Jan Jaman Now tenan. Kalau sudah begini sopo sing mesti digugu, ngene salah, ngono salah, gak melok-melok malah tambah susah, budrek tenan aku mikirne,” sloroh mbah Kromo ngudoroso.
“Halah, tak pikir opo kung? ngomong perkoro ngene iki nyambung kalau sama cucumu Bidara, ngertiku wis damel kopi nopo dereng, lomboke isih ono opo ora, kliru ngomong malah salah kedaden mengko, nambahi ruwet…” ujar Nyi Arum seraya memanggil cucu tercintanya, berlalu meninggalkan Mbah Kromo Sendirian.
Nduk….. sana temenin kakungmu, iku mbahmu bludrek mikir negoro…?
“Inggih Mbah Uti? Sahut Bidara. Bidara pun buru-buru menghampiri eyang Kakungnya.
“Rene Nduk? Apa sudah siap-siap budal kuliah?” tanya Mbah Kromo.
“Dereng Mbah? Mangke radi siangan,.. nopo tho mbah Kung kok sajake rodok ora penak pikirane ?”
Sejenak Mbah Kromo meraih gelas kopi, seteguk dua teguk kafein itu mengaliri rongga mulutnya yang sedikit mengering. Tak berselang, suasana menjadi begitu tegang, persis panggung debat terbuka ala stasiun Televisi. Mengalir dan menguap, tanpa ending, hanya resum moderator yang berakhir dengan tanda tanya.
“Aku ki bingung nyawang kahanan, informasi tiap hari masuk kuping kiri keluar kuping kanan, Temane podho, isine bedo, tak pikir sing gawe berita iki opo koki yo? “ seloroh Mbah Kromo.
“Lha, koki pripun tho Mbah ?”
“Piye gak koyo koki, informasi di ramu sedemikian rupa, dikasih bumbu biar sedap dan enak saat disajikan. Unike resepe podho Jangan Asem tapi rasane bedo-bedo, tampilane opo maneh maneko warno. Sing gawe susah naliko di roso, rosone iso nano-nano, ono sing legi, legit, pedes, gebrah. Sensasine lho woow …tenan,” jelas Mbah Kromo.
“Nggih, leres mbah Kung, sekarang kita dihadapkan pada realitas yang membingungkan, sumir antara yang benar dan salah, yang bohong dan sahih, yang benar belum tentu benar yang salah belum tentu salah, repotnya lagi yang berita Hoaks atau bohong kita telan mentah-mentah, membingungkannya lagi informasi yang kita baca terkadang banyak tidak berimbangnya, ” timpal Bidara.
Rasa penasaran Mbah Kromo seperti diubun-ubun, ingin dirinya mengambil posisi menghakimi setiap apa yang dilontarkan cucunya. Dirunutnya setiap ucapan Bidara dengan nada pertannyaan “Opo tho iku Hoaks.. Hoaks, Nduk?
Sedikit mengernyitklan dahi, Bidara pun menjawab setiap pertannyaan Eyang Kakung dengan hati-hati. “Seperti mau ujian semester aja,” begitu gumannya dalam hati. “Ngeten Mbah Kung? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘hoaks’ adalah ‘berita bohong.’ Dalam Oxford English dictionary, ‘hoax’ didefinisikan sebagai ‘malicious deception’ atau ‘kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat’. Sayangnya, banyak netizen yang sebenarnya mendefinisikan ‘hoax’ sebagai ‘berita yang tidak saya sukai’. Hoax dalam definisi termurninya adalah berita bohong yang dibuat secara sengaja. Pembuatnya tahu bahwa berita itu bohong dan bermaksud untuk menipu orang dengan beritanya,” Jelas Bidara panjang lebar.
Sejenak menghela nafas, Bidara kemudian menjelaskan beberapa ciri-ciri jenis berita hoak. “Menurut Dewan Pers Mbah, ciri-ciri hoax itu mengakibatkan kecemasan, kebencian, dan permusuhan. Sumber berita tidak jelas. Hoax di media sosial biasanya pemberitaan media yang tidak terverifikasi, tidak berimbang, dan cenderung menyudutkan pihak tertentu. Bermuatan fanatisme atas nama ideologi, judul, dan pengantarnya provokatif, memberikan penghukuman serta menyembunyikan fakta dan data. Ciri khas lain hoax adalah adanya HURUF KAPITAL, huruf tebal (bold), banyak tanda seru, dan tanpa menyebutkan sumber informasi. Ciri utama hoax adalah tanpa sumber. Penyebar hoax biasanya menuliskan: “copas dari grup sebelah” atau “kiriman teman”.
“Terus gek piye awake dewe kudu mensikapine?” cerca Mbah Kromo
Jiwa muda Bidara seperti tertantang. Pertanyaan eyang Kakungnya seperti memompa kesadaran batinnya untuk tetap fokus dan teliti menjawab setiap pertanyaan. Apalagi terkadang
“Ya harus rutin membaca berita Mbah? utamanya dari media yang well-established dan dihormati. Karena biasanya orang yang paling rentan hoax adalah orang yang jarang mengonsumsi berita. Kalau suatu berita kedengarannya tidak mungkin, bacalah dengan lebih teliti. Yang perlu diperhatikan lagi mbah ? Jangan share artikel/foto/pesan berantai tanpa membaca sepenuhnya dan yakin akan kebenarannya. Itu yang sering dilakukan ketika kita asik bersosial media. Generasi muda kita saat ini perlu memahami literasi media, itu penting agar ada kemampuan untuk membedakan mana informasi yang benar dan bohong. Lebih dari itu, literasi media memberi perhatian pada kemampuan berpikir kritis dalam membaca pesan-pesan media atau informasi. Dalam konteks ini, ia menjadi perangkat pengetahuan yang membuat orang bisa membaca sebuah informasi between the lines (mengambil kesimpulan-red).” sergah Bidara.
“Asem tenan Hoaks..Hoaks iki, gawe awake gak tambah pinter tapi malah tambah tekanan darah tinggi, ancene kudu selektif yo Nduk ? Ngati-ati lan waspodho mesti gedhe slamete, Yo wis sesuk dilanjut karo iku mau Literasi Media, ben awake dewe soyo bijak mensikapi kahanan,”
Waktu kian beranjak, Mbah Kromo sepertinya masih menyimpan rasa penasarannya dalam hati. Dirinya tidak tega melihat cucunya terus menjadi penghakiman atas rasa keingintahuannya. Perbincangan pagi tu ditutup Mbah Kromo dengan senyum penuh tanda tanya. (Frend Mashudi)