Geliat Pengrajin Anyaman Bambu Gulupayung
MENGANY
AM
DALAM SUNYI
Semangat itu terus mengaliri ruang-ruang kesunyian. Nyanyian alam tentang hijaunnya persawahan, tentang burung-burung yang bebas beterbangan diantara rumpun-rumpun padi, tentang gemericik air yang mengaliri jiwa-jiwa teduh mereka. Kendati ruang itu hanya menyisakan keterbatasan, namun masih ada nafas kehidupan yang membuat mereka tetap bersyukur akan karunia yang diberikan oleh sang Pencipta. Itulah sekelumit cerita, nuansa sunyi pengerajin bambu di dusun Jeruk lingkungan Gulupayung, desa Ngumbul.
Pagi belum beranjak, titik-titik embun juga masih rintik membasuh bumi. Pilar-pilar bambu itu juga masih terlihat berserakan, tak beraturan memenuhi bidak halaman mereka. Satu keluarga itu nampak sumringah menatap pagi yang akan menjelang. “Hari ini hari pasaran mas, biasannya kita membawa hasil anyaman ini ke pasar untuk dijual esuk hari, semoga membawa berkah,” ungkap Tuharno, pengrajin anyaman bambu khas Gulupayung.
Usai berkemas, merekapun berangkat. Langkah-langkah kaki itu begitu kokoh menyusuri pematang-pematang sawah yang membentang di sepanjang jalan di lingkungan Gulupayung. Dari rumah ke pasar mereka biasa berjalan kaki, kendati puluan kilo harus mereka tempuh untuk sampai ke pasar.”Biasannya kalau kita berangkat jam 2, nanti jam 6 kita sudah sampai di pasar lorok,” timpalnnya.
Biasanya, dalam sepekan mengayam, Tuharno dan keluargannya mampu menghasilkan 8-10 hasil anyaman, berupa Brundul (keranjang barang ukuran besar), Tompo (Keranjang barang ukuran kecil), kenting (Tempat nasi), Tampah (tempat membersihkan bulir beras), besek (tempat untuk menaruh bumbu dapur),Kalo (tempat untuk membuat santan kelapa), dll.
Dari hasil penjualan itu, rata-rata Tuharno hanya mengantongi untung sekitar 50 ribu, itu pun kalau pas lagi rame pasarannya. “Hasilnnya cukup untuk keperluan sehari-hari mas, dari keuntungan itu masih harus di potong untuk beli bahan dan lain-lain, ya lumayanlah mas, di syukuri aja,” celetuknnya.
Kerajinan anyaman yang ditekuni Tuharno ini sudah dilakoninya turun temurun. Mulai dari sang kakek hingga bapaknya. “Dilingkungan sini ini kebanyakan bisa mengayam, itulah yang kami jadikan pekerjaan sehari-hari selain beternak dan bercocok tanam,” tambah Tuharno.
Memang, kerajinan anyaman bambu ini sebenarnnya sudah berkembang sejak nenek moyang. Kebanyakan masyarakat desa ngumbul sebenarnnya memiliki keahlian dalam bidang menganyam. Hanya saja, keahlian itu hanya dimanfaatkan saat mereka butuh untuk memenuhi kebutuhan mereka saja. Misalnya saja, saat musim panen, biasannya masyarakat membuat sendiri tikar dari anyaman bambu untuk menjemur hasil panen mereka.
Saat ini, para pengrajin di desa Ngumbul mulai didata untuk dilakukan pemberdayaan oleh Tim penggerak PKK desa. Baik pengrajin anyaman, mebel dan lain-lain. Yang pasti keberadaan para pengrajin ini mampu menumbuhkan sektor perekonomian masyarakat setempat. Bukan sekedar bertahan hidup, namun mereka mensukuri kebisaan mereka untuk saling mengisi dalam upaya membangun desannya. (frend)